From Womb to the World

Memang ya, yang namanya hutang itu…. Tebar janjinya enak banget,  giliran disuruh bayar gelagapan. Supaya hutang saya ga tambah banyak, saya akan cicil sedikit demi sedikit.

Yang saya maksud adalah hutang cerita, bukan hutang ke rentenir ya :mrgreen:

Ini adalah curhatan sehari setelah melahirkan. Sengaja tidak saya edit 😀

Bandung, 23 September 2012

Selama ini saya selalu bertanya-tanya, ketika seseorang mengatakan bahwa melahirkan itu sakit, sakitnya itu seperti apa? Apakah sakit karena lukanya? Ataukah sakit karena didorong-dorong kepala bayi? Atau bagaimana? Sekarang saya tahu jawabannya, bahwa rasa sakit yang dimaksud adalah rasa mulas luar biasa. Rasa mulas yang bikin badan tegang dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rasa yang membuat saya — yang menurut mama saya merupakan orang dengan ambang ketahanan rasa sakit yang rendah — teriak-teriak tengah malam dibuatnya.

Saat itu adalah minggu ke-38 kehamilan saya. Tidak lama setelah saya menulis posting tentang harapan saya melahirkan secara normal. Hari Rabu sore saya mulai jalan sambil pegang-pegang pinggang dan punggung, persis seperti nenek-nenek sakit encok. “Tenang saja, masih minggu ke-38,” pikir saya. Mungkin ini masih kontraksi palsu, masih ada 2 minggu lagi untuk mempersiapkan ini-itu.

Hari Kamis, saya semakin seperti nenek-nenek sakit encok. Hari Jumat, saya tiba-tiba ingin periksa ke dr. Sonny. Harusnya sih kontrolnya hari Sabtu, tapi entah kenapa pada Jumat itu saya begitu keukeuh pengen ke dokter. Mungkin keinginan itu muncul karena ketidaksabaran  saya mengetahui berapa BB janin pasca diet karbohidrat dan gula selama 1 minggu. Saya sangat ingin mendengar dokter berkata “ternyata perhitungan minggu lalu error, bayinya tidak seberat yang diperkirakan.”

Karena harus tes darah ini-itu, saya nongkrong di tempat praktek dokter sejak pukul 17.00 WIB. Itu berarti saya harus menunggu 2 jam sebelum dokternya datang. But the good news is saya dapet nomor antrian pertama ^,^

Maka nongkronglah saya di ruang tunggu itu sendirian. Kebetulan si suami sedang tugas di luar Jawa, dan saat itu belum ada ibu-ibu hamil lain yang datang. Entah sinetron apa yang saya tonton saat itu. Saya ga bisa konsentrasi karena setiap 10 menit sekali saya meringis menahan rasa ngilu.

Setengah jam menuju jam buka praktek dr. Sonny, ruang tunggu masih sepi. Agak aneh. Kemudian munculah mas-mas resepsionis dan memanggil nama saya dan berkata “Maaf bu, dokternya ga praktek hari ini… Beliau masih ada seminar di depan Trans Studio Mall.” Infonya lengkap banget sampe Trans Studio Mall-nya juga disebut :mrgreen:

Duer. Berasa dapet geledek di maghrib hari. Akhirnya saya pulang.

Tidak ada yang spesial pada jam-jam berikutnya, kecuali pada pukul 21:00 WIB intensitas dan kualitas rasa mulas yang saya alami menjadi semakin meningkat. “Tarik napas dalam-dalam….. hembuskan” itulah kata-kata sakti untuk menghilangkan sedikit rasa sakit. Saya terus-menerus mensugesti diri sendiri agar rasa mulas ini cepat hilang. Tapi teori ini buyar sudah…. Yang ada malah makin mulas ga karuan. Frekuensi 10 menit sekali kemudian berubah menjadi 5 menit sekali, dan akhirnya menjadi 1 menit sekali.

Kalau harus digambarkan dengan kata-kata, mungkin rasanya mirip dengan rasa menjelang menstruasi, hanya saja sensasinya 100 x lipat. Plus perut yang lagi segede gaban itu seolah-olang mau pecah.

Rasanya tidak ada rasa lain yang lebih menyakitkan dibanding rasa ingin melahirkan. Maka pecahlah tangis saya pada pukul 2 dini hari. Sejak awal saya menahan agar saya tidak membangunkan siapapun, tapi apa daya… Saya ga kuaaaaaat T.T

Mama kemudian terbangun. Feelingnya mengatakan kalau saya sebentar lagi akan melahirkan. Langsung deh semua anggota keluarga dibangunin, beres-beres baju dan perlengkapan lain, ngeluarin mobil dari garasi, dll. Oiya, saya belum sempat cerita ya… Asalnya saya berencana melahirkan di klinik di rumah sendiri dibantu oleh Bidan Atun, teman mama. Itulah kenapa saya ga siap-siap perlengkapan seperti baju dll. Tapi karena saya mengalami pre-eklampsia, mau tidak mau harus melahirkan di RS dengan pengawasan dokter SpOG.

Berangkatlah kami ke RS Bungsu pukul 02:30 WIB. RS ini dipilih karena biaya persalinan caesar-nya paling murah dibandingkan RS-RS lainnya di Bandung. Walaupun tidak pasti, tapi selalu ada kemungkinan saya harus operasi caesar jika tekanan darah saya masih tinggi sebelum bukaan lahir lengkap.

Rasa mulas di perut saya makin ga karuan. Saya mencengkeram tangan adik saya setiap kali rasa mulas datang. (Maafkan saya deeeek :p).

Di perjalanan, tiba-tiba keluar banyak air. Ternyata ketuban saya pecah.

Di UGD RS, ketuban saya pecah lagi. Lalu dua kali di kursi roda saat saya didorong oleh satpam yang siap siaga. Total 4 kali pecah. Rasanya makin ga karuan, tapi herannya, saya masih bisa bilang “Pak Satpam, maaf ya ini kursi rodanya saya kotorin.” :mrgreen:

Lalu masuklah saya ke ruangan VK. Saya ga tau apa singkatan dari VK ini. Pokonya ruangan buat melahirkan deh. Saya teriak-teriak, dan rasanya bayi akan segera brojol, tapi bu bidan tidak kunjung meminta saya mengejan. Dia malah ngobrol sama mama saya, ngobrolin Bidan Atun -_-

Ternyata penundaan itu dilakukan karena si bidannya ga berani membimbing saya melahirkan. Tekanan darah saya saat itu naik jadi 150/110, jadi saya harus nunggu dokter dulu baru bisa mengejan. Beberapa menit kemudian dokter yang dimaksud pun datang. Ternyata dokternya tetanggaan sama RS-nya, jadinya cepet, hehehehe…

Dokter meminta saya mengejan, lalu tiba-tiba ada rasa yang cukup perih, dan saya merasakan ada cairan yang mengucur. Saat itulah saya menyadari bahwa saya di-episiotomi — pengguntingan di sekitar vagina untuk memperbesar jalan lahir bayi. Saya kemudian mempraktekkan cara mengejan yang benar, seperti yang diajarkan oleh instruktur senam hamil.

Seperti biasa, saat ada seorang perempuan yang sedang berusaha melahirkan, pasti muncul kata-kata “ayo terus….”, “ayo sedikit lagi…”, dan sebagainya. Saat itu pun saya mendengarnya, tapi tidak lama, karena setelah 2 kali mengejan saja saya sudah melihat dua tangan bayi menari-nari diiringi suara tangisan yang imut.

Waaaa, sudah lahir! Jauh lebih cepat dari yang saya perkirakan 🙂

Bayi saya lahir pada 22 September 2012 pukul 03:55 WIB, kurang dari satu jam sejak ketuban pertama saya pecah. Si bayi kemudian dibawa ke ruang bayi, setelah diketahui bahwa plasenta saya tak kunjung keluar. Ya, kami gagal IMD. Rasanya muncul geledek di ruangan bersalin saat itu itu. Rencana IMD yang sudah saya persiapkan sejak awal kehamilan harus gagal karena saya mengalami retensio plasenta (plasenta mengalami perlengketan sehingga sulit atau tidak keluar melalui jalan lahir bayi). Belakangan saya baru mengerti bahwa gagal IMD masih jauh lebih baik dibanding nyawa saya melayang 😦

Dua puluh menit berlalu saat tangan kiri dokter masih menekan-nekan ringan perut saya yang sudah kempes saat itu. Dari kanan ke kiri, lalu balik lagi, dan begitu seterusnya. “Tenang bu, masih ada 10 menit lagi,” katanya kepada ibu saya. Saat itu saya tidak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan. Untungnya, saya juga tidak mengerti seberapa terancamnya jiwa saya pada saat itu. Kalau saya tau, mungkin saya akan panik dan tekanan darah akan semakin meningkat.

Sepuluh menit berlalu, tibalah waktu yang “ditunggu.” Ternyata yang ditunggu adalah keluarnya plasenta. Karena ga keluar-keluar, akhirnya plasenta yang tertinggal di perut saya diambil secara manual. Jeng jeeeeeeeeeeeeeng…..! Rasanya bagaimana? Rasanya amit-amiiiiiit……. Jauh lebih sakit dibanding melahirkan. Prosesnya juga malah lebih lama, dan dokternya juga lebih capek. Bayangkan, pengambilan secara manual tersebut dilakukan sebanyak 4 kali! Anestesi pun seakan tidak berdaya menghilangkan rasa sakitnya T,T

Sinar matahari kemudian muncul di balik jendela. Bidan memandikan saya yang saat itu bersimbah darah. Saya yang menahan rasa sakit, tapi sangat bahagia. Saya terus-menerus bertanya kepada bu bidan “Bu, kapan saya bisa lihat bayinya?” Bu bidan hanya tersenyum dan menjawab “Sabar….”

Kemudian di pagi itu sebuah box beroda muncul di ujung pintu, diikuti seorang bidan yang mengantarkannya. Di dalamnya tertidur sesosok bayi mungil berselimutkan kain putih bermotif bunga-bunga ungu. Cantik sekali. Mukanya merah dan matanya tertutup rapat. Baunya wangiiiii sekali. Kissing her for the first time is the nicest feeling I’ve ever had in my life. Saya kemudian memanggilnya “Tiara Kayla Jasmin.”

tiara newborn

PS: Foto yang sama emaknya menyusul, soale ada di HP ayahnya. Ayahnya terbang langsung dari Kalimantan, boro-boro inget bawa kamera, hahaha.

PSS: Berat badan Tiara 3,1 kg, dan panjangnya 50 cm. 

2 thoughts on “From Womb to the World

Leave a reply to risa Cancel reply