1

Maria Hardayanto, Ibu Rumah Tangga Penebar Virus Hijau

Sebagian orang menilai menjadi ibu rumah tangga berarti memilih menarik diri dari ranah publik. Tidak ada lagi jenjang karir, tidak ada lagi aktualisasi dmairi, tidak ada lagi cita-cita turut memajukan bangsa. Jika Anda termasuk salah satu dari orang-orang ini, tunggu sampai Anda berkenalan dengan Maria Hardayanto. Anda mungkin akan berubah pikiran. 

Suatu malam, saya cek satu per satu notifikasi Facebook yang pada malam itu sangatlah padat. Ternyata beberapa notifikasi datang dari Bunda yang sedang mempromosikan tulisannya di beberapa grup yang juga kebetulan saya ikuti. Jika kebetulan waktu saya luang, saya akan langsung membacanya, tapi jika sedang sedikit sibuk, saya bookmark dulu untuk saya baca lain waktu.

Ya, “Bunda,” begitulah saya memanggil sosok wanita ini. Dan ya, saya adalah penggemar berat tulisan-tulisan Bunda. Bukan tanpa alasan, saya menyukai tulisan-tulisan beliau karena isinya sangatlah inspiratif. Membayangkan bahwa sosok penulisnya berusia paruh baya, sontak membuat saya malu. Ternyata saya yang lebih muda dan berada pada usia puncak produktif masih kalah produktif dibanding Bunda.

Laman salah satu blog Maria Hardayanto

.

Ibu Rumah Tangga yang ‘Berkarir’ Melebihi Wanita Karir

“Kita sering bilang orang-orang Indonesia itu jorok dalam menjaga lingkungan, tapi kita tidak mau terjun langsung untuk membantu mereka. Yang saya lakukan hanya setitik debu, tapi saya yakin apa yang saya lakukan bermakna bagi mereka.” — Maria Hardayanto

Bunda adalah seorang ibu rumah tangga. Namun kepeduliannya yang sangat besar terhadap isu lingkungan hidup dan pemberdayaan perempuan membuat Bunda tergerak untuk melakukan banyak aktivitas di luar rumah.

Saat ini Bunda mendampingi dan membina dua komunitas yang tinggal di pemukiman padat penduduk kota Bandung, yaitu Komunitas Engkang-engkang dan Komunitas Sukamulya Indah. Visinya sangatlah mulia, yaitu mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan memberdayakan kaum perempuan untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ini murni beliau lakukan secara sukarela alias tanpa dibayar. “Yang ada Bunda malah nombok, hehehe…” katanya sambil tertawa.

Saya beruntung sekali karena berkesempatan untuk ikut kumpul-kumpul dengan salah satu komunitas ini pada suatu sore. Sore itu saya bertemu Bunda yang sedang bersiap-siap bertemu Komunitas Engkang-engkang. Dengan pakaian rapi, Bunda menenteng reusable bag berisi cukup banyak barang. Rupanya Bunda baru saja selesai belanja untuk keperluan pertemuan kali ini sekaligus keperluan di rumahnya.

“Engkang-engkang,” nama yang cukup unik dan mungkin banyak yang menyalahartikannya dengan “ongkang-ongkang” yang bermakna sedikit negatif. Engkang-engkang adalah nama hewan semacam laba-laba air yang merupakan indikator alami sungai bersih dan jernih. Diharapkan nama ini bisa menjadi penyemangat ibu-ibu di bantaran Sungai Cidurian untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih, yang membuat engkang-engkang muncul kembali di sungai ini.

Bale-bale Komunitas Engkang-engkang

Keberuntungan saya berlipat ganda ketika ternyata edisi pertemuan kali itu adalah membuat cupcake tape dan ganyong. Sore itu Bunda membawa selembar print out resep yang didapatkannya dari internet. Kegiatan kali ini memang hanya memasak kue, tapi bukan berarti tidak ada poin belajarnya. Dari kegiatan ini kita belajar bahwa kita bisa menggunakan bahan lokal untuk mengganti bahan impor.

Selain menghemat biaya yang dikeluarkan, dengan menggunakan bahan lokal kita turut menjaga Bumi dengan “menghemat karbon.” Maksudnya adalah kita tidak ikut-ikutan menghasilkan polusi dari kegiatan mengimpor barang.

Cupcake Tape dan Ganyong” hasil belajar Komunitas Engkang-engkang

Seru kan? Selanjutnya resep-resep inovatif yang pernah dicoba pada pertemuan komunitas bisa dipraktekkan sendiri oleh para ibu-ibu, dan hasilnya bisa dijual di warung. Anak-anak jadi bisa jajan makanan sehat yang bebas bahan kimia berbahaya. Satu hal lagi yang tak kalah penting: jajanan ini ramah lingkungan karena tidak menggunakan plastik sebagai pembungkus.

Memasak hanyalah satu dari banyak kegiatan yang dilakukan komunitas Engkang-engkang. Banyak kegiatan menarik dan sarat makna lainnya yang dilakukan oleh ibu-ibu anggota komunitas ini. Beberapa di antaranya adalah belajar memisah sampah, mengkampanyekan anti buang sampah di sungai, berkebun, mengkompos, dan membuat tas dari bungkus kemasan plastik. Yang pasti semua kegiatan tersebut mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan.

(Dokumentasi Maria Hardayanto)
.

Kegigihan Bunda yang tak kenal lelah kini telah membuahkan hasil. Selain memiliki lingkungan yang lebih bersih dan asri, kedua komunitas ini kini cukup dikenal sebagai salah satu “komunitas hijau” kota Bandung.

Banyak orang yang telah mengunjungi dan banyak media yang telah meliput kedua tempat ini. Kebanyakan orang datang untuk belajar tentang social entrepreneurship. Bahkan Wakil Walikota Bandung, Bapak Ayi Vivananda sering berkunjung ke Komunitas Engkang-engkang karena beliau sangat suka dengan semangat para ibu ini.

Pada bulan Juli 2012, kedua kampung ini juga terpilih sebagai kampung percontohan perubahan iklim Jawa Barat. Hebat kan? 🙂

.

Selalu Ada Cinta untuk Keluarga

Dengan kegiatannya yang seabreg, tidak sejengkal pun Bunda menjadi jauh dari keluarganya. Keluarga adalah hal terpenting dalam hidup Bunda. Kecintaan inilah yang membuat beliau memilih menjadi ibu rumah tangga setelah selama beberapa tahun mencoba berkarir pasca lulus dari Fakultas Ekonomi Uninus Bandung. Alasannya sederhana, Bunda tidak rela jika anak-anaknya lebih dekat dengan pembantu daripada dengan dirinya.

Mesra bersama sang suami

Foto anak-anak di dinding rumah

Bahkan setelah anak-anaknya dewasa, Bunda masih memperlakukan mereka dengan manja. Tidak ada yang salah, toh memang seharusnya begitulah hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya. Bunda selalu berbagi cerita tentang apa yang beliau kerjakan di luar rumah kepada anak-anaknya. Begitu pula sebaliknya, Bunda selalu mendengarkan cerita khas anak muda dari anak-anaknya, sambil mencoba membantu memberikan solusi apabila dibutuhkan.

Ada kalanya di antara anggota keluarga muncul perbedaan pendapat. Biasanya bunda menyikapinya dengan santai dan memilih cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Bunda berprinsip bahwa setiap anggota keluarga punya hak yang sama dalam mengutarakan pendapat, tidak pandang bulu apakah posisi mereka sebagai anak atau orang tua. Tapi tentu saja ada batasan-batasan tertentu yang tidak bisa dilanggar.

Rasa cinta kepada keluarga Bunda curahkan dengan selalu menyediakan makanan sehat di meja makan. Jika ada jadwal berkegiatan di luar rumah, Bunda akan mempersiapkan bahan-bahan masakan sejak sehari sebelumnya, “jadi besok paginya tinggal sreng, sreng, sreng…” tambahnya.

Bukan hanya itu, Bunda juga berusaha menciptakan suasana rumah yang asri. Tentu saja “asri” menurut kamus pribadi beliau. Bunda memelihara banyak tanaman hias dan tanaman pangan di kebun depan dan belakang rumah. Ada pula kolam lele dan tong pengkomposan untuk mengolah sampah organis sisa dapur dan makanan. Melalui keasrian ini juga Bunda mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai alam dan lingkungan.

Halaman depan (kiri) dan halaman belakang (kanan) rumah Maria Hardayanto

Tong sampah organis (kiri) dan non-organis (kanan) di rumah Maria Hardayanto

.

Menemukan Tuhan dalam Pencarian

Bunda adalah seorang muallaf. Keputusan ini beliau ambil bukan karena alasan menikah atau atas paksaan orang lain, tapi berdasarkan hasil pencariannya sendiri. Satu hal lagi yang membuat saya kagum…. Bukan karena apa agama yang beliau pilih, tapi bagaimana proses beliau menemukan Tuhan dalam perjalanan hidupnya.

Bunda mempelajari agama Islam secara otodidak. Bunda bercerita, pada tahun 1980-an beliau membeli buku belajar mengaji dan buku petunjuk sholat di pinggir jalan yang saat itu harganya hanya Rp 1.000,00. Bunda membaca dan mempelajari buku-buku itu pada perjalanan menuju atau sepulang dari kantor menggunakan bis kota. Tekad Bunda sangatlah kuat: sekali masuk Islam, maka beliau harus menjadi muslim yang baik.

Sekarang, saat sudah fasih membaca Al-Qur’an, Bunda secara rutin mengikuti pengajian. Selain menambah relasi, kegiatan ini beliau manfaatkan untuk menebar ‘virus-virus’ hijau. Menjaga lingkungan juga termasuk ibadah, maka menyebarkan virus hijau bisa dihitung juga sebagai dakwah. 🙂

.

Tetap Tampil Cantik

Di balik kesibukannya, Bunda masih sempat merawat diri. “Bagaimanapun orang pertama kali menilai kita dari penampilan fisik. Kalau kita bersih dan rapi, orang akan lebih mau mendengar kita,” katanya bersemangat.

Sebenarnya tidak sulit untuk merawat kecantikan ala bunda. Cukup cuci muka setiap hari dan makan makanan yang sehat. Sekali-sekali boleh juga ke salon untuk memanjakan diri dan melakukan perawatan yang tidak bisa kita lakukan sendiri di rumah.

Pakaian dan asesoris Bunda sederhana saja, tidak mewah. Tapi Bunda sangat lihai dalam memadupadankan pakaian dengan asesoris sehingga enak dipandang mata. Coba lihat saja penampulan bunda di foto-foto ini, matching kan? 😉

Maria Hardayanto

Suatu saat pernah kami membahas tentang salah satu foto Bunda yang dipasang di Facebook. Bunda bercerita bahwa beliau memang mempersiapkan satu foto yang bagus, yang kelak akan dikenang saat beliau tiada.

Suatu hari saudara saya meninggal, dan di depan peti matinya terpasang foto terbaiknya semasa hidup. Saya jadi kepikiran bahwa saya harus punya foto yang bagus, jadi saat sudah tiada nanti, saya dikenang seperti pada foto itu,” katanya. Ya ampun, Bunda.. 😀

Maria Hardayanto

.

Belajar dan Menjadi Inspirasi melalui Dunia Maya

Banyak hal yang Bunda capai saat ini merupakan hasil dari proses belajar secara mandiri. Adanya internet membuat proses belajar mandiri dan berjejaring menjadi lebih mudah dan cepat. Inilah salah satu keuntungan hidup di era digital.

Melalui internet pula Bunda menjadi sumber inspirasi. Saya mungkin tidak akan pernah tahu sosok ibu rumah tangga moderen ini jika saya tidak berjejaring dengan beliau melaui Facebook. Saya juga mungkin tidak akan pernah tahu tentang Komunitas Engkang-engkang jika Bunda tidak menuliskannya di blognya. Begitu pula dengan orang-orang lain.

Maria Hardayanto: ibu rumah tangga yang melek teknologi dan internet

Kini Bunda telah menjadi inspirasi bagi banyak orang, khususnya kaum perempuan. Bunda berharap ibu-ibu rumah tangga di Indonesia tidak cepat puas dengan apa yang dimiliki sekarang. Mereka harus terus merasa haus akan pengetahuan dan pengalaman baru, karena sejatinya banyak hal yang bisa dilakukan oleh ibu rumah tangga yang bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun lingkungannya.

Hidup di negara berkembang memang dipenuhi banyak “masalah:” harga BBM yang semakin mahal, harga sembako yang melangit, lingkungan yang semakin kotor, dan lain sebagainya. Menurut Bunda, berkeluh kesah dan menyalahkan pemerintah tidaklah berguna. Lebih baik kita gunakan energi dan waktu yang kita punya untuk melakukan sesuatu yang sederhana tapi bermanfaat.

Terima kasih Bunda, karena telah menjadi inspirasi bagi kami, kaum perempuan. Melalui pencapaian selama ini, Bunda telah membuktikan bahwa usia dan gender bukanlah penghalang untuk maju dan membawa perubahan. Bunda juga telah mematahkan anggapan miring bahwa menjadi ibu rumah tangga berarti berhenti beraktualisasi diri dan tidak turut memajukan bangsa. Semoga angin yang menerbangkan “virus-virus” yang Bunda ciptakan selalu berhembus sehingga virus-virus ini hinggap di semakin banyak tempat.

Mari kaum perempuan, ikuti langkah Bunda. Siapkan tekadmu dan mulailah melakukan perubahan sederhana yang bermanfaat! 🙂

***

Klik link-link berikut untuk terhubung dengan Bunda (Maria Hardayanto).    

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes Fastron Blogging Challenge. Fastron Blogging Challenge (FBC) adalah kompetisi blog yang mengangkat tema-tema yang erat kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dan perubahan sosial. Pada ajang FBC yang pertama, tema yang diangkat adalah Women In Digital Era.

8

Malin Kundang Tak Lagi Durhaka

Lekat sekali dalam ingatan kita sosok Malin Kundang yang berasal dari tanah Minang, sosok yang kini “berwujud” batu karena dikutuk ibunya yang merasa sakit hati atas sikapnya yang durhaka.

Kisah Malin Kundang (Sumber)

Dikisahkan Malin pergi merantau mencari penghidupan baru. Di tengah laut, kapal yang ditumpanginya kena bajak, tapi untunglah Malin selamat karena bersembunyi di sebuah ruangan kecil. Malin kemudian terdampar di tanah yang subur. Berkat keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin bisa menjadi kaya raya dan terkenal. Suatu hari Malin dan istrinya melakukan pelayaran dan singgah di Minang. Ibunda Malin pun menyambutnya dengan suka cita. Namun malang nasib sang ibu, dia tidak diakui oleh anaknya sendiri. Sosok tua itu kemudian menjadi marah, lalu mengutuk anaknya menjadi batu. Selesai.

Begitulah kira-kira ceritanya. Pastilah cerita yang teman-teman dengar kurang lebih sama dengan yang saya dengar. Saking umumnya, sampai-sampai sosok Malin Kundang ini dijadikan simbol untuk terminologi “anak durhaka.”

Tapi bagaimana jika ada yang bercerita tentang Malin, tapi Malin bukanlah anak durhaka? Bagaimana jika kisah Malin diceritakan seperti ini:

Karena desakan ekonomi, Malin Kundang pergi merantau. Dia berprofesi sebagai tukang masak junior berusia 15 tahun di sebuah kapal barang. Di tengah laut, kapal barang yang ditumpanginya dibajak oleh perompak Somalia. Malin selamat, lalu James Bond, seorang kapten kapal dari Inggris membawa Malin ke Glasgow. Malin kemudian disekolahkan di sekolah masak ternama, dan setelah lulus, Malin membuka restoran Padang di Glasgow, London, dan Manchester.

Suatu hari terdengar kabar dari tanah Minang, bahwa terjadi tsunami besar di sana. Malin tergerak untuk membantu saudara-saudaranya di tanah air, dia mengirimkan bantuan makanan ke Minang dalam jumlah besar, di mana dia sendiri yang memimpinnya. Di tepi pantai di Minang, dia bertemu seorang wanita tua yang jalan terantuk-antuk. Dilihatnya wanita tua itu menggunakan selendang putih kumal yang dikenalinya. Malin menangis, lalu mengajak ibunya pindah ke London untuk membuka lebau dan mendirikan surau.

Kisah itu bukan buatan saya, melainkan buatan Abah Wawan Husin, seorang pendongeng, pengajar, seniman, dan “jepruter.” Apa itu jepruter? Sepenangkapan saya, jepruter itu artinya seniman suka-suka. Bahasa Sunda-nya sih seniman yang berpinsip “kumaha aing we, siah!:mrgreen:

Saya dipertemukan dengan kisah yang menceritakan Malin Kundang yang dipelesetkan menjadi Marlin Cook Kundrang ini pada acara Bincang Edukasi Meet Up #8 di Boeminini, Bandung, 7 Juli 2012 lalu. Sebenarnya acara ini diisi oleh beberapa presentan, tapi si abah ini lah yang paling menarik perhatian saya.

Wawan Husin

Wawan Husin

Abah Wawan Husin sangat mencintai dunia dongeng, karena dunia ini mengingatkannya kepada ibundanya yang telah tiada. Menurutnya, dongeng adalah metoda pendidikan yang bertaburkan cinta dan kejujuran. Orang yang tulus dan jujur pada diri sendiri akan sangat bisa menjadi pendongeng yang baik, seperti kutipan Kafka yang dimodifikasi, “Every body is a story teller if he is honest to himself.”

Sosok nyentrik ini secara tegas menyatakan ketidaksukaannya pada dongeng-dongeng atau lagu-lagu yang beredar di Indonesia. Inilah yang membuat beliau menggubah dongeng Malin Kundang yang sudah meng-Indonesia itu.

Beliau bertanya-tanya, kenapa kancil harus jadi anak nakal, sehingga anak-anak tidak ada yang mau jadi kancil? Kenapa balon kita hanya ada lima, sehingga kita hanya tau warna-warna itu saja? Kenapa tidak “balonku ada 200” sehingga anak-anak bisa mengenal diversitas warna? Kenapa Malin Kundang harus durhaka dan kemudian menjadi batu, sehingga anak-anak tidak berani membantah kepada orang tua karena takut jadi batu?

Saya sangat sependapat dengan si abah yang lincah ini. Kebanyakan dongeng atau lagu yang diajarkan kepada anak kecil di negeri ini justru lebih bermuatan negatif ketimbang positif. Ambil contoh kisah Malin Kundang ini. Saya pikir, kisah ini sengaja dibuat oleh orang jaman dulu untuk menakut-nakuti anak kecil supaya mereka tidak membantah orang tua mereka. Tapi apakah ini esensi dari “berbakti”? Hanya karena takut? Bagaimana jika seiring kedewasaan si anak kelak, rasa takut berbalut kepercayaan akan hal-hal mistis itu hilang? Apakah jika seorang anak tidak lagi takut dikutuk menjadi batu, maka mereka mendapat pembenaran untuk “boleh” tidak berbakti kepada orang tuanya?

Untuk itulah dalam sebuah pendidikan lebih dibutuhkan penanaman nilai-nilai positif ketimbang nilai-nilai negatif. Nilai positif akan jauh lebih aman dan mampu memprevensi pembenaran-pembenaran liar maupun unintended consequences lainnya. Jika untuk tujuan yang sama kita bisa memunculkan nilai-nilai positif pada sebuah dongeng, kenapa kita masih pakai yang negatif?

Coba kita baca lagi dongeng gubahan Abah Wawan di atas. Di sana beliau memasukkan beberapa unsur pendidikan: bilangan (15 tahun), keprofesian (tukang masak), geografi (Somalia, Glasgow, London, Manchester, Inggris), sains (tsunami), bahasa asing (Bahasa Inggris yang digunakan Malin), kemanusiaan (Malin membantu korban tsunami), dan yang paling penting: nilai-nilai luhur kekeluargaan (Malin tidak durhaka kepada ibunya). Apakah pesan utama yang ingin disampaikan pada kisah Malin Kundang hasil modifikasi ini sama dengan kisah Malin Kundang konvensional? Saya rasa sama. Hanya saja melalui kisah modifikasi ini, si pendengar tidak terinspirasi untuk menjadi anak durhaka, karena tidak ada lagi sosok “anak cilako” pada kisah itu. Jauh lebih indah bukan? 😉

Saya rasa si abah tidak berniat buruk mendiskreditkan dongeng Malin Kundang konvensional yang sudah turun-temurun itu. Beliau sekedar ingin mencontohkan saja, agar kita bisa membandingkan nilai-nilai di antara kedua dongeng tersebut. Intinya kita perlu behati-hati dalam mendongeng, jangan sampai alih-alih memberikan inspirasi yang baik, kita malah menebar teror. (–> bahasa saya mulai lebay :mrgreen:)

Ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi saya yang bercita-cita menjadi orang tua yang baik kelak. Tidak hanya dalam mendongeng, dalam melakukan hal apapun kita sebenarnya perlu lebih menonjolkan nilai positif ketimbang nilai negatif. Mungkin kita memang perlu kreatif, tapi yang lebih penting adalah kita perlu latihan dari sekarang! 😀

***

Sebagai penutup, teman-teman yang penasaran dengan aksi dongeng teaterikal si abah bisa melihatnya dalam video di bawah ini. File asli video ini adalah 1.33 GB, jadi saya kecilin, eh ga taunya malah kekecilan… :mrgreen: Pada bagian tengah video, suara kurang terdengar jelas. Kalau kurang paham jalan ceritanya, tinggal lihat lagi sinopsis dongeng yang saya tuliskan di atas. Selamat menikmati! 🙂

PS: Sinopsis di atas merupakan storyboard yang dibacakan oleh si abah sebelum beraksi, mungkin ada sedikit perbedaan dengan dongeng teraterikalnya.

PS lagi: Arti “jemprol” adalah “two thumbs up.” Kalau “jempol”, cuma “thumb up.:mrgreen: