Ada yang berbeda pada sore itu, sore di mana saya memenuhi ajakan Bunda Maria Hardayanto untuk berkunjung ke komunitas Engkang-engkang yang bermukim di sebuah kampung di bantaran Sungai Cidurian, Bandung. Tak saya sangka, ini adalah kampung yang begitu spesial, kampung yang dipenuhi dengan semangat perbaikan lingkungan dan kehidupan yang lebih baik.
Selasa itu adalah hari di mana Bunda melakukan pendampingan ibu-ibu di kampung Cidurian. Tepung ganyong, tape singkong, telur, dan beberapa bahan lain sudah ada di tangan. Saya dan Bunda meneruskan langkah melewati gang sempit yang berliku, hingga sampailah kami di sebuah bale desa, sebuah ruangan yang kami gunakan untuk belajar memasak sore itu.
Kue yang akan kami buat hari ini adalah kue muffin. Ini adalah resep coba-coba, tetapi ini adalah resep istimewa, karena kami tidak lagi menggunakan tepung terigu. Sebagai gantinya, kami menggunakan tepung ganyong, tepung yang dibuat secara lokal, sehingga lebih ramah lingkungan dan harganya lebih murah.
“Jika kita tidak impor barang, berarti kita menghemat emisi karbon,” begitulah kira-kira pesan yang Bunda ingin sampaikan pada acara memasak kali itu. Ternyata sebagian dari ibu-ibu tersebut sudah paham tentang pemanasan global dan hubungannya dengan emisi karbon.
Bukan hanya tepung ganyong, mereka juga sering menggunakan bahan-bahan lokal lain seperti singkong, ubi, pisang untuk membuat panganan. Prinsip yang dipakai adalah sebisa mungkin menggunakan bahan lokal.
Selain sebagai ajang mempopulerkan bahan pangan lokal, kegiatan memasak juga dipromosikan sebagai gaya hidup sehat keluarga, karena dengan memasak sendiri, para ibu bisa menjaga kualitas makanan untuk keluarga dan buah hati mereka.
Tidak lebih dari satu jam sejak pertama kali kami berkumpul, sepiring kue muffin sudah terpanggang dan siap disantap. Ibu-ibu lain yang sebelumnya tidak ikut memasak pun bermunculan untuk ikut mencicipinya. Hingga munculah Bu Dian, ibu RT kampung tersebut yang belakangan baru saya tahu bahwa beliau memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan kampung tersebut.
Melihat saya sebagai orang asing, Bu Dian kemudian bercerita tentang apa yang telah ibu-ibu di kampung ini lakukan untuk membuat lingkungan mereka lebih baik. Beliau juga menawari saya tour singkat untuk melihat hasil kerja keras mereka selama ini. Tanpa pikir panjang, saya langsung terima ajakan beliau. “Dengan senang hati, Bu…” ucap saya.
“Dulu biasanya sampah dibuang di sini,” ucap Bu Dian sambil menunjuk Sungai Cidurian.
“Tapi sekarang mah udah dipilah, yang basah dikompos, yang kering dimanfaatkan jadi kerajinan dan ga dibuang di sungai lagi. Nanti komposnya dipakai untuk pupuk taneman ini,” tambahnya.
Lahan hijau di tepian sungai lah yang Bu Dian maksud. Lahan yang beberapa tahun lalu merupakan ‘trotoar’ berpasir itu kini telah berubah menjadi ladang bertanamkan pepohonan dan berbagai tumbuhan pangan.
Tumbuhan di ladang tersebut sengaja dibuat beragam agar tidak dibutuhkan pesitida untuk merawatnya. Secara berkala ibu-ibu mengumpulkan kompos yang dibuat di rumah masing-masing untuk ditebarkan di ladang sebagai pupuk alami.
Saat panen tiba, mereka memanennya bersama-sama. Dari ladang tersebut sudah dihasilkan banyak bahan pangan untuk dikonsumsi para warga kampung. Mudah, murah, dan sehat. Ditambah lagi karena ini adalah hasil kerja keras sendiri, rasanya sungguhlah nikmat.
Sebuah saung kecil berdiri di tengah-tengah ladang. Tiga anak sedang bermain di dalamnya. Di bagian belakangnya terdapat baligo berukuran cukup besar bertuliskan “Engkang-Engkang, Komunitas Cidurian Bersih” dengan logo seekor laba-laba air.
Rasa penasaran saya tentang arti nama komunitas ini akhirnya hilang setelah saya melihat baligo tersebut. Ternyata ‘engkang-engkang’ diambil dari nama lokal laba-laba air yang hanya hidup di perairan bersih. Warga menggunakan nama tersebut sebagai penyemangat, dengan harapan suatu saat nanti engkang-engkang akan hidup kembali di Sungai Cidurian.
Selesailah tour saya di hari yang menyenangkan itu. Tak disangka modal iseng-iseng saya berbuah begitu banyak inspirasi…. bahwa ternyata kampung sekecil ini mampu melakukan perubahan yang begitu berarti… bahwa keterbatasan ekonomi dan pendidikan bukanlah halangan dalam berinovasi dan beradaptasi di tengah krisis lingkungan yang terjadi saat ini.
Saya senang sekali pernah menjadi bagian dari komunitas ini, komunitas di mana para ibunya aktif secara langsung memperbaiki kulitas hidup keluarga dan kampung mereka tanpa membebani Bumi lebih jauh… para ibu yang suatu saat akan berkata kepada anak-anak mereka “tenanglah nak, kita tidak perlu memaksakan beli beras, tidak perlu beli terigu, tidak perlu lagi boros karbon untuk bisa menikmati makanan enak dan sehat.”
Semoga saat engkang-engkang yang mereka tunggu telah hadir di Sungai Cidurian, kampung ini sudah benar-benar mandiri dan tahan pangan. Juga menjadi kampung yang menjadi inspirasi bagi kampung-kampung lain untuk maju dan mensukseskan pembangunan berkelanjutan.
Hari beranjak malam. Saya bersiap pulang dengan membawa oleh-oleh kue muffin hasil belajar memasak sore itu. Sebagian ibu bersikeras menawarkan kantung plastik kepada saya untuk membungkus kue-kue tersebut, tapi saya memilih menggunakan daun pisang. Sementara mereka terheran-heran, saya berkata, “simpan dulu rasa penasarannya, Bu, di pertemuan selanjutnya kita bahas tentang plastik.” 😉
***
Tulisan ini diikutsertakan pada lomba blog dengan tema “Masyarakat dan Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Oxfam Indonesia.
Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.
Kampung Cidurian terpilih sebagai kampung iklim mewakili provinsi Jawa Barat pada Program Kampung Iklim yang diselenggarakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup RI. Gelar tersebut diberikan sebagai penghargaan atas upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilaksanakan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah.
Semua foto merupakan dokumentasi pribadi Maria Hardayanto.